Misteri Orang Pendek Sumatra Itu Monyet Atau Manusia

Misteri Orang Pendek Sumatra Itu Kera Atau insan masih menjadi perdebatan di kalangan tertentu. Banyak Sekali Fakta Yang mendukung dugaan Masing masing kelompok. Nah mari kita Lihat Detail Faktanya dibawah ini

Hampir setiap hari para polisi hutan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, berjalan kaki menyusuri hutan perawan di wilayah seluas 125 ribu hektar. Itu kiprah rutin, berpatroli mengawasi tiga area besar taman konservasi, Way Kanan, Way Bungur, dan Kuala Penet.  Setiap area itu dibagi lagi menjadi empat resor.

Mereka menjaga taman nasional dari pembalakan liar, atau perburuan liar. Hutan di Way Kambas yakni tempat konservasi badak, harimau sumatera, dan juga gajah. Di sana bahkan ada sekolah gajah pertama di Indonesia.

Sekali patroli, para polisi hutan itu bisa berjalan kaki selama dua pekan, atau bahkan sebulan. “Mereka membawa makanan, dan juga tenda”, ujar juru bicara Taman Nasional Way Kambas, Sukatmoko kepada VIVAnews. 

Tapi satu regu patroli di resor Rawa Bunder, Way Kanan, menemukan hal mengejutkan pada Ahad, 17 Maret 2013 lalu. Di petang hari itu, di ketika tubuh mulai lelah, tujuh polisi hutan terperangah: ada sekelompok makhluk mirip insan namun ukurannya lebih kecil melintas di rawa.

Mereka sontak terkesiap. Para polisi hutan dan kelompok “orang pendek” itu berhadap-hadapan dengan jarak sekitar 30 meter.  Kaget, dan tak menyangka bersua makhluk aneh, para polisi hutan itu terpacak diam. Hening. Sekejap kemudian, gerombolan “orang pendek” itu berlari masuk ke dalam rimbun hutan. Hilang.

Barulah para polisi hutan sadar, seharusnya mereka mengabadikan gambar “orang-orang pendek” itu. Mereka hanya bisa mengingat “orang-orang pendek” itu bertelanjang, sebagian memegang kayu berbentuk tombak, dan bahkan ada yang menggendong bayi. Diduga ketika itu, mereka sedang mencari ikan atau mencari air minum.

Penasaran dengan apa yang mereka lihat, tiga hari kemudian, grup itu kembali berpatroli di tempat sama. Tim sengaja menentukan waktu persis ketika mereka bertemu makhluk aneh, menjelang malam. Dan betul, “orang-orang pendek” yang dihitung lebih dari sepuluh orang itu terlihat lagi. “Suasana dan lokasinya sama ketika petugas patroli melihat yang pertama dan yang kedua,” kata Sukatmoko. Namun, lagi-lagi, polisi kalah cepat memotret mereka.

Dari penampakan kedua ini, tim memastikan, penampilan “orang-orang pendek” itu mirip insan purba. “Mereka tidak menggunakan baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih arif balig cukup akal atau anak-anak, namun petugas kami melihat ada di antaranya mirip yang wanita sedang menggendong bayi,” Sukatmoko menambahkan.

Hari itu juga, polisi hutan Taman Nasional memasang 15 kamera pengintai bersensor inframerah di sekitar lokasi itu. Kamera ini biasa dipakai untuk menangkap gambar aktifitas satwa liar, dan bisa menangkap objek bergerak yang melewatinya baik siang maupun malam.

“Nanti jika sudah ada bukti secara visual kami gres bisa bicara. Karena selama ini kami hanya mengandalkan bukti penglihatan mata petugas, maka kami saja belum berani melaporkannya ke kementerian kehutanan secara resmi,” kata Sukatmoko.

Ini bekerjsama bukan kali pertama “orang-orang pendek” itu terlihat. Pada 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua dengan makhluk serupa yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas.  Denni, seorang anggota pendaki itu, menghubungi VIVAnews sesudah gosip temuan “orang-orang pendek” itu dimuat di media. “Saya pernah melihat ‘orang pendek’”, ujarnya.

Dia berkisah, pada suatu pagi,  beliau mendaki gunung setinggi 2.887 meter itu. Sekitar pinggang gunung, di sebuah daerah yang agak datar, tiba-tiba Denni dan temannya kaget campur takjub melihat sepasang makhluk mirip monyet tapi berjalan dengan dua kaki. Tangannya mengayun khas mirip manusia. “Bulunya berwarna emas, berjalan tegak, berpegangan tangan,” kata Denni. Denni dan temannya berhenti berjalan, kemudian mengamati.

Tinggi makhluk tak berekor itu sepinggangnya atau kira-kira 1 meter. Sepasang makhluk itu berjalan kira-kira 30 meter di bersahabat mereka berdua. Semua badannya berbulu, kecuali mukanya. Bulu di kepalanya sedikit lebih panjang. “Mukanya agak rata,” kata Denni.

Meski perawakan mirip manusia, namun bulu tipis di sekujur badannya membuatnya tampak lebih mirip monyet daripada manusia, kata Denni.

Karena tak pernah melihat makhluk macam itu sebelumnya, Denni yang menenteng kamera saku pun bergerak cepat hendak memotret. Namun mirip tahu mau dipotret, kedua makhluk itu bergerak lebih cepat, menghilang di balik rimbun pepohonan. Dia gagal mengambil gambar dari temuan langka itu.

“Orang Pendek” Kerinci

Tapi Deborah Martyr, wanita peneliti asal Inggris yang beberapa kali menyaksikan ”orang pendek” di Taman Nasional Kerinci Seblat, mencurigai makhluk yang dilihat polisi hutan di Way Kambas yakni “orang pendek” yang sama.

Debbie, begitu panggilan wanita itu, menyatakan “orang-orang pendek” yang dilihatnya di sejumlah hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol lebih dari tiga orang.

“Saat melihat ‘orang pendek’, beliau hanya sendiri. Tidak pernah saya melihat mereka berkelompok hingga belasan,” kata Pemimpin Tim Fauna & Flora International's Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera itu. (Baca juga bab 4—Wawancara Debbie Martyr)

Perkenalan Debbie dengan “orang pendek” dimulai dari tahun 1989, ketika beliau ketika itu bekerja sebagai jurnalis sebuah media di Inggris, dan berlibur ke daerah Taman Nasional Kerinci Seblat yang membentang di empat provinsi yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Saat itu, Debbie mendengar kisah Orang Pendek. Dia pun penasaran. Namun gres tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari Fauna dan Flora International-IP dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Project Orang Pendek.

“Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya mitos. Namun sesudah melihat, saya yakin itu bukan mitos,” katanya ketika diwawancara jurnalis VIVAnews, Eri Naldi dan Arjuna Nusantara, di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27 Maret 2013.

Debbie pertama kali melihat “orang pendek” tahun 1994 di daerah Gunung Tujuh dan kemudian di Gunung Kerinci, masih di Taman Nasional Kerinci Seblat. Tahun 1995, ketika memasuki bab Sumatera Barat dari taman nasional itu, di Solok Selatan, kembali Debbie melihat makhluk soliter ini. Tahun itu juga beliau kembali menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara. Terakhir, pada 1996, Debbie melihatnya lagi di sebuah hutan produksi di Mukomuko, Bengkulu, dan di Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Namun tak satu pun yang berhasil dipotretnya. Padahal mereka sudah menggunakan kamera pengintai paling canggih yang biasa memotret harimau sumatera. Alhasil, tim penelitian ini lebih banyak mengandalkan penelitian berdasarkan pandangan mata saksi, termasuk mereka sendiri.

 “Badannya agak besar, tinggi sekitar 130 cm. Warna kulitnya madu tua, bulu di kepala sedikit tebal. Perawakan wajahnya hampir sama dengan orangutan tapi tidak mirip dengan manusia,” kata Debbie menceritakan ciri-cirinya, mirip mirip yang dilihat Denni di Gunung Singgalang.

Yanuar yang meraih gelar master dari Universitas Cambridge, Inggris, atas penelitian primata di Kerinci ini juga mengalami hal yang sama, hanya bisa melihat namun tak bisa mengabadikan gambar “orang pendek” ini. Bahkan Yanuar lebih dulu melihat “orang pendek” ini daripada Debbie. Kali pertama, mirip diungkapkannya dalam sebuah laporan terkait Project Orang Pendek, yakni di Provinsi Lampung di tahun 1993.

 “Jelas sekali berjalan dengan dua kaki, mengatakan ayunan tangannya,” kata Yanuar. “Warna (bulu)nya coklat agak keemasan.”

Meski tak mendapat gambar meyakinkan, Project Orang Pendek ini berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, mengatakan lekuk mirip telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar dan mencelat.

“Jempol menonjol keluar dan beban tampaknya dibagi rata untuk menghasilkan kombinasi monyet besar dan manusia. Saya mencatat beberapa persamaan, berdasarkan bentuk kaki,” Yanuar menulis di laporan riset.

Satu kali, dalam riset lapangan, tim sempat mendapat feses segar “orang pendek”. Baunya mirip feses manusia. Analisis atas feses ini, disimpulkan orang pendek itu yakni omnivora meski lebih banyak memakan sayur, buah-buahan dan akar-akaran. Orang pendek juga memangsa serangga mirip ulat pohon dan larva. “Tapi tampaknya beliau tidak makan cabai,” kata Debbie kemudian tertawa.

Kemudian tim juga mengumpulkan hasil wawancara dengan penduduk yang pernah bertemu makhluk itu. Narasumber ini macam-macam pekerjaannya, 57 persen petani, 18 persen pemburu atau pengumpul gaharu, 14 persen pegawai pemerintah, 4 persen andal kehutanan dan lainnya sekitar 8 persen.

Ada variasi penampakan “orang pendek” di mata narasumber riset. Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang melayang dari pohon ke pohon mirip dilakukan kera, beruk atau orangutan.

Sementara warna bulu di badannya, umumnya berwarna coklat meski ada sedikit yang melihatnya kemerahan atau keemasan. Bulu di kepala lebih panjang dan tebal, sementara di bab dada dan perut lebih tipis sehingga mengatakan warna kulit mereka.

Umumnya mereka ditemui sedang berjalan, kemudian makan, dan sedikit yang bertemu sedang berbaring. Sementara tinggi badan, ada yang melihat di bawah 1 meter, namun ada yang hingga 130 sentimeter. (Lihat Bagian 2—Infografik)

Narasumber ini tersebar di sepanjang Bukit Barisan dari utara Sumatera Barat hingga ke selatan Bengkulu, baik dari dataran rendah hingga pegunungan di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Penamaannya pun beragam.

Di Sumatera Barat, “orang pendek” itu juga dikenal sebagai Si Bigau. Di Jambi sendiri, selain disebut Uhang Pandak (dialek lain dari ‘Orang Pendek’), juga disebut Antu Pandak dan Si Gugu.

William Marsden, yang menghabiskan masa mudanya di Sumatera antara tahun 1754 hingga 1836, sudah menyinggung soal Si Gugu ini dalam bukunya berjudul “History of Sumatra”. Dalam buku edisi tahun 1811, Marsden yang juga dari Inggris menceritakan bahwa di antara Palembang dan Jambi, ada dua suku yang hidup di hutan yakni suku Kubu dan Gugu. Gugu, dijelaskan Marsden, kecil dan berbulu di sekujur tubuhnya.

Seorang warga Sungai Penuh, Kerinci, Iskandar Zakaria, yakni salah satu warga yang percaya dengan keberadaan Orang Pendek. Di tahun 1990-an akhir, Iskandar yang sekarang berusia 71 tahun melihat betul Orang Pendek. Saat itu, Iskandar memang sengaja menjelajah hutan di kaki Kerinci dengan niat mencari makhluk legenda itu.

Di hari ketiga pencariannya, menjelang Subuh, Iskandar yang ketika itu mau buang air besar di pinggir sungai di sebuah perkebunan melihat yang dicari-carinya. Orang Pendek terlihat turun dari bukit menuju sungai. "Saya terkejut dan hanya bisa membisu saja. Karena, Uhang Pandak itu berjalan sempurna di hadapan saya. Pada ketika itu jaraknya hanya sekitar dua atau tiga meter saja dari saya," katanya.
 
"Pada ketika melintas di depan saya, Uhang Pandak ini melirik saya. Kejadian itu cepat sekali. Karena, sesudah melintas di hadapan saya, Uhang Pandak hilang ke dalam hutan lagi," katanya.
 
Dari pengamatan itulah, Iskandar menyatakan, wajah Orang Pendek sama sekali tidak mirip manusia. Sekujur tubuh mahluk dengan ketinggian sekitar 80 sentimeter ini ditutupi bulu mirip orangutan. Dan satu hal lagi, beliau berjalan dengan telapak kaki ke depan, bukan terbalik mirip selama ini menjadi mitos di masyarakat

"Tempat tinggal Uhang Pandak ini semak rimbun. Makanannya kulit kayu yang ada di hutan. Karena, dari yang saya temui di sekitar tempat tinggal Uhang Pandak ini banyak bekas kupasan kulit kayu," katanya.

Kera atau Orang?

“Mereka tergolong primata, bukan manusia,” kata Debbie yakin, ketika ditanya soal pembagian terstruktur mengenai “Orang Pendek” ini. Orang Pendek, kata Debbie, yakni primata yang belum tercatat dalam ilmu pengetahuan.

“Asumsi saya beliau lebih bersahabat ke Siamang. Mereka tidak berkelompok tapi tumbuh dalam keluarga kecil—satu ibu dan bawah umur tanpa pejantan.” Karena perkiraan inilah Debbie mencurigai gerombolan yang di Way Kambas yakni “Orang Pendek” yang sama dengan yang ditelitinya bertahun-tahun.

David Chivers, andal primata dari Universitas Cambridge, telah menganalisis jejak telapak kaki yang dikumpulkan Debbie dan kawan-kawan. “Sangat tak biasa, alasannya yakni mereka merupakan adonan abjad dari semua jenis monyet dan manusia,” kata Chivers mirip dilansir majalah Edge Science edisi #7, April-Juni 2011. “Mereka punya jari yang lebih pendek, hampir mirip manusia.” Antropolog biologis dari Universitas Idaho, Jeff Meldrum, juga melihat jejak kaki itu menerangkan bipedalisme atau berjalan dengan dua kaki.

Sementara analisis atas DNA rambut, andal binatang Hans Bruner dari Universitas Deakin, Australia, menyatakan rambut itu milik primata tak dikenal. Tahun 2010, jebolan genetika Universitas Oxford Tom Gilbert melaksanakan tes DNA sendiri atas rambut tersebut. Peneliti di Centre for GeoGenetics, bab dari Natural History Museum of Denmark, itu menyatakan DNA makhluk itu yakni manusia, atau setidaknya bekerjasama bersahabat dengan manusia. Jika pendapat ini diterima, “orang pendek” bisa bangun sejajar dengan Homo neanderthal, Homo floresiensis dan Homo sapiens alias masuk jajaran “manusia”. (Baca juga Bagian 3—Berburu “Hobbit” di Gua Flores)

Lembaga riset genetika di Indonesia, Eijkman Institute for Molecular Biology sendiri skeptis dengan status insan atas “orang pendek” ini. Deputi Direktur Lembaga Eijkman  Prof Herawati Sudoyo menyatakan, pertanyaan soal genetika “orang pendek” belum bisa dijawab alasannya yakni tak ada gambar yang jadi bukti keberadaan mereka. Jika keberadaannya sudah pasti, barulah kemudian bisa lanjut kepada pengambilan sampel DNA, kata Herawati.

Soal gambar dan habitat “orang pendek” inilah yang menjadi pekerjaan bertahun-tahun sejumlah pemerhati tumbuhan dan fauna. Fauna Flora International (FFI) yang melaksanakan monitoring harimau sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat belum pernah mendapat gambar “orang pendek” dari seratusan kamera trap yang terpasang di enam lokasi semenjak tahun 2004.

“Jika memang ada, mungkin sudah tertangkap kamera pengintai kami,” ujar Yoan Dinata, Manager FFI areal Sumatera Barat pada VIVAnews.

 “’Orang pendek’ itu tampaknya punya kemampuan mendeteksi benda listrik,” kata Suwandi Ahmad, yang pernah membantu dokumentasi tim Debbie ketika mengumpulkan data “orang pendek”. “Indra telinga dan penciuman mereka tampaknya tajam sekali,” kata Suwandi.

Dia kemudian menceritakan sebuah kisah unik seorang fotografer alam bebas yang sudah delapan bulan mengikuti Debbie, berusaha memotret “orang pendek”. “Setelah delapan bulan, pada suatu saat, baterai kameranya habis, beliau kemudian mengganti baterenya,” kata Suwandi. “Saat itulah, beberapa “orang pendek” tiba mengerubungi fotografer itu. Dia gemetaran ketika mengisi baterai, namun ketika sudah terisi, ‘orang pendek’nya pergi lagi. Seminggu lamanya sesudah itu si fotografer ngambek,” kata Wandi tertawa.

Dosen Biologi Universitas Andalas, Dr. Wilson Novarino, salah satu ilmuwan yang yakin akan keberadaan “orang pendek”, menyebut insting makhluk menghindari dari insan itu mungkin bab dari kunci survivalnya. “Karena kondisinya yang sangat sensitif dan tidak mau bertemu manusia, bisa jadi populasinya semakin mengerucut,” kata Wilson.
Jejak Kaki Si Orang pendek

Orang Pendek, kata Wilson, sangat besar kemungkinan salah satu dari banyak binatang yang masih misterius. Hingga sekarang gres 1,9 juta spesies telah teridentifikasi. Dalam studi yang dipublikasikan Selasa, 23 Agustus 2011 di jurnal PLoS Biology, ilmuwan menghitung ada nyaris 8,8 juta spesies di Bumi. Dari jumlah itu, 6,5 juta berada di daratan dan 2,2 juta di lautan.  Kerajaan binatang mendominasi dengan 7,8 juta spesies, fungi (jamur) sekitar 611.000 dan tumbuhan sekitar 300.000 spesies.

Jika benar ada 8,8 juta spesies, "Itu angka yang brutal," kata Direktur Eksekutif Ensiklopedi Kehidupan, Erick Mata. "Kita bisa menghabiskan waktu 400 hingga 500 tahun untuk mendokumentasikan spesies yang benar-benar hidup di planet kita," katanya.

Bisa jadi, “orang pendek” yakni salah satu makhluk yang masih luput terdata itu. Bagaiman berdasarkan Anda Apakah Orang pendek itu Manusia Atau monyet ?

Komentar

Postingan Populer