Kisah Darurat Dibalik Kartu Sehat Jakarta Ala Jokowi

Kartu Jakarta sehat Atau KJS menjadi Andalan Jokowi Dan Ahok Untuk Membantu Kesehatan warganya di Jakarta. Tampaknya Pasangan pemimpin ini tetep kekeh dalam pendirianya menyebabkan warga ibukota semakin sehat dan bugar.

Dengan memakai KJS maka warga Jakarta Bisa lebih damai Dalam berobat lantaran tidak harus memikirkan uang atau bayaran. mereka hanya cukup mengantri berjam jam dan semuanya Gratis. Ada Banyak Kisah Yang timbul dari KJS ini dari Yang murung dan senang namun pada dasarnya warga jakarta senang dengan adanya Kartu Sehat ini .

Inilah beberapa kisah Yang berhasil dikumpulkan berkaitan dengan KJS ini . Noviana, warga Kalideres, ialah salah satu "yang beruntung". Saking takut kehabisan jatah berobat kalau kesiangan, ia pun berangkat dari rumah pukul tiga pagi. Novi sakit paru-paru dan ia mengandalkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk menyehatkan alat  bernapasnya itu. KJS ialah salah satu jadwal unggulan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo  yang digadang-gadang bakal menjadi jalan keluar buat warga tidak bisa untuk berobat secara gratis.

Novi, 37 tahun, mengaku rutin tiba ke RS Tarakan tiap 10 hari. Tidak duduk masalah baginya mengantre hingga 12 jam, selama ia bisa berobat tanpa mengeluarkan uang. "Yang namanya  gratis kita sabar aja. Yang penting saya sanggup obat. Kalo nunggu kelamaan, ya tinggal  tidur," kata dia, nrimo.

Prosedur berobat pemegang KJS memang berbeda dengan pasien umum. Kaum ini harus  mendaftar lebih dulu di sebuah buku yang disiapkan oleh petugas keamanan rumah sakit.

Barulah kemudian mereka mendapat nomor urut dan menunggu dipanggil, pasti berjam-jam  kemudian.

Nasib pasien rawat inap KJS lebih mengenaskan lagi. Yang sakit parah sekalipun harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kamar tidak selalu tersedia. Pemegang KJS mendapat  akomodasi rawat inap gratis di kamar kelas III. Diceritakan Kokom (52), warga  Cengkareng, hingga tiga hari adiknya yang sakit jantung tertahan di Instalasi Gawat  Darurat lantaran tidak ada kamar kosong di ruang kelas III. Saat ditemui VIVAnews Rabu  siang kemarin, Kokom bersama tiga anggota keluarganya sedang berbaring di atas tikar  yang ia hamparkan di halaman rumah sakit.

Kokom terpaksa bermalam di situ lantaran adiknya, Maksum (31), belum mendapat bangsal.

Toh, Kokom masih bersyukur. Sebab, begitu tiba, adiknya eksklusif ditangani. Jadi, tidur di pelataran rumah sakit pun jadilah. "Namanya juga gratis, yang penting adik saya sudah  ditangani," ujar Kokom, bersyukur.

Sejak KJS digulirkan, warga Jakarta yang sakit berbondong-bondong mendatangi rumah sakit. Akibatnya, jumlah pasien di Rumah Sakit Umum Daerah meningkat drastis.

Peningkatan signifikan salah satunya terjadi di Rumah Sakit Tarakan itu. Menurut petugas keamanan RS Tarakan, Didi Suryadi, beberapa bulan kemudian warga yang berobat belum seramai  sekarang. Tidak ada calon pasien yang antre semenjak dini hari.

Kepala Bidang Pelayanan RS Tarakan, Theryoto, menyebut dalam sehari ada sekitar 1.000  hingga 1.200 pasien yang tiba berobat membawa KJS. Dari total 350-420 pasien rawat  inap per hari, 90 persen di antaranya memakai KJS. Lonjakan terjadi mulai November  kemudian ketika KJS mulai dibagikan.

Fenomena ini kontras dengan jadwal kesehatan sebelumnya, yaitu Jaminan Kesehatan Daerah  (Jamkesda). Ketika itu, pasien yang tiba berobat memakai kartu itu hanya sekitar  700-800 orang per hari. Apa alasannya ialah warga lebih menentukan KJS dibanding Jamkesda?

"Karena KJS ini persyaratannya mudah," kata Theryoto.

Di RS Tarakan hampir semua kamar kelas III diperuntukkan bagi pasien KJS. Dari 460 tempat tidur, 404 digunakan KJS. Sedangkan sisanya untuk pasien berbayar. Sejak ada KJS,  kamar tidak pernah kosong.

Program KJS menyasar 4,7 juta warga miskin, atau setara dengan 50 persen penduduk Jakarta. Kartu didistribusikan secara bertahap. Tahap pertama, November hingga Desember lalu, dikeluarkan 3.000 kartu. Kelurahan yang jadi prioritas ialah Tanah Tinggi, Bukit Duri, Manggarai, Pademangan Timur, Marunda, dan Tambora. Penentuan tempat prioritas didasarkan pada tingkat kepadatan penduduk dan apakah itu masuk kategori wilayah kumuh.

Untuk mendapat KJS, warga cukup membawa KTP dan Kartu Keluarga ke Puskesmas terdekat.

Utamanya, mereka harus masuk dalam kategori "pasien kelas III" alias tidak bisa secara  ekonomi.

KJS dilengkapi sistem elektronik yang sanggup menyimpan data kesehatan penggunanya--mulai dari riwayat penyakit hingga di mana saja telah menjalani perawatan. Dengan sistem ini, Dinas Kesehatan sanggup melaksanakan pengawasan pelaksanaan KJS. Juga, mempermudah proses perujukan pasien ke rumah sakit lantaran sistemnya terintegrasi dengan database 88 rumah sakit peserta KJS.

***

Kehadiran KJS memang disambut baik oleh warga Jakarta. Sayangnya, ini tidak diimbangi dengan tersedianya akomodasi rumah sakit yang memadai. Program kesehatan murah andalan  Jokowi-Ahok ini tak berjalan mulus. Fakta di lapangan memperlihatkan tak sedikit warga yang  kecewa lantaran ditolak dilayani sejumlah rumah sakit. Penyebabnya: jikalau tidak kamar  penuh, fasilitasnya yang kurang.

Lebih menyedihkan, KJS juga melahirkan banyak kisah tragis keluarga yang menyaksikan  orang yang mereka kasihi meninggal sehabis "mengemis" layanan rumah sakit.

Kasus terakhir menimpa Ana Mudrika (14) yang terlunta-lunta sehabis ditolak empat rumah  sakit. Ana diduga keracunan masakan dan telat ditangani secara medis. Akhirnya ia meninggal, Sabtu 9 Maret 2013.

Sebelumnya, bayi Dera Nur Anggraini juga meninggal jawaban tidak tertampung di rumah sakit. Orok merah ini meninggal hanya enam hari sehabis dilahirkan. Dia lahir bersama kembarannya melalui operasi caesar di RS Zahira, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 10 Februari  2013 lalu.

Sejak dilahirkan, kondisinya terus melemah. Karena keterbatasan alat untuk menangani  Dera, RS Zahira mencoba merujuk ke rumah sakit lain. Dera harus dirawat di Neonatal  Intensive Care Unit (NICU). Dalam perjuangannya mencari rumah sakit rujukan, ayah Dera,  Eliyas Setya Nugroho, ditolak oleh hampir 10 rumah sakit.

Dokter mengeluh

Tidak hanya oleh pasien, KJS juga dikeluhkan para dokter. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)  mengaku kewalahan dengan lonjakan pasien di rumah sakit dan Puskesmas sehabis kartu ini diberlakukan. Mereka khawatir pelayanan medis terhadap pasien menjadi tidak maksimal.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Zainal Abidin, menyampaikan idealnya satu dokter memberikan  pelayanan kesehatan selama 15 menit untuk seorang pasien. Namun sehabis KJS diterapkan, seorang dokter hanya bisa menyelidiki pasiennya selama lima menit saja. Padahal, dalam memperlihatkan pelayanan kesehatan dokter tidak bisa menyerupai penjual karcis. Selesai tulis nama, selesailah layanannya.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Jokowi Widodo melihatnya dari sudut yang optimistis. Dia  menilai membludaknya pasien ke rumah sakit membuktikan antusiasme warga untuk berobat.

Jokowi mengakui dengan KJS ajakan berobat ke RSUD dan Puskemas naik dua kali lipat.

Baginya, itu sebuah konsekuensi logis saja.

"Kalau begitu tidak usah ada KJS, agar sakit semuanya di rumah. Mau menyerupai itu?" Jokowi  balik mempertanyakan.

Dia meyakini pasien membludak lantaran jadwal ini gres di tahap awal. Jumlah pasien KJS  nanti akan menurun seiring membaiknya kesehatan masyarakat. Selain itu, berdasarkan Jokowi banyak warga yang ngotot ingin dirujuk ke rumah sakit lantaran masih enggan berobat di  Puskesmas.

Yang jadi masalah, carut-marut KJS tak lepas dari ulah orang-orang tak bertanggung jawab di lapangan, khususnya di tingkat Puskesmas. Mereka begitu saja merujuk pasien ke rumah  sakit tanpa ditangani terlebih dahulu. Bahkan, ada yang sakit ringan saja eksklusif dirujuk ke rumah sakit.

Dievaluasi

Program unggulannya dikritik pedas di mana-mana, Jokowi segera merespons. Dalam waktu  akrab ia menyatakan akan melaksanakan uji publik sistem KJS. Dia akan mengumpulkan  aneka macam pihak untuk dimintai masukan. Warga yang pernah memakai KJS akan  diikutsertakan dalam penilaian itu.

Dia juga berencana memotong akomodasi kamar kelas II di RSUD tumpuan KJS, menjadi kelas  III. Cara tersebut diperlukan bisa meningkatkan jumlah kamar yang tersedia bagi pasien  KJS. "Kelas II sudah dipotong 75 persen jadi kelas tiga," kata mantan Walikota Solo ini.

Selain itu, layanan call center 119 juga akan terus diperluas supaya warga sanggup mengecek eksklusif ketersediaan kamar di rumah dan warta lainnya yang dibutuhkan.

Saat ini, layanan 119 gres terhubung dengan sembilan rumah sakit, yaitu RS Cipto  Mangunkusumo, RS Jantung Harapan Kita, RS Anak Bunda Harapan, RSUP Fatmawati, RSUP  Persahabatan, RSUD Tarakan, RSUD Cengkareng, RSUD Koja, dan  RSPAD  Gatot Subroto.

Rumah sakit yang 'bengal' pun diancam. Jokowi menggertak tidak akan memperlihatkan segala  bentuk izin, termasuk IMB dan izin ekspansi bangunan, bagi rumah sakit yang kedapatan  menolak pasien KJS. "Kami pemerintah punya power yang sanggup digunakan untuk hal-hal yang  bermanfaat bagi masyarakat," ujarnya.

Selain minimnya akomodasi medis, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja  Purnama melihat hambatan lain yang menghadang KJS ialah faktor sumber daya manusia.

Tenaga medis masih kurang jumlahnya. Karena itu, ke depan pemerintah Jakarta berencana  menambah tenaga kesehatan. Gaji mereka pun akan dinaikkan.

Ahok pun mewanti-wanti rumah sakit untuk tidak lagi menolak pasien KJS. Menyangkut biaya  perawatan, ia menjamin akan membayarnya. Dia menyatakan anggaran kesehatan untuk  mendukung jadwal KSJ di tahun 2013 sudah dinaikkan menjadi Rp1,2 triliun, dari  sebelumnya yang cuma Rp800 miliar. Meski luas dikritik, ia menyatakan Pemprov DKI teguh  akan terus membuatkan jadwal ini

Semoga KJS ini bisa menjadi solusi Pemimpin Ibukota untuk menyebabkan warganya senang kondusif dan sejahtera

Komentar

Postingan Populer