Hati Hati Investasi Emas Bodong Ini Cara Kerjanya

Hati Hati Investasi Emas Bodong Ini Cara Kerjanya, Menjadi Sangat penting Mengetahui Bagaimana Sebenarnya Sistem kebobrokan Investasi Yang Banyak Digemari Oleh Orang Banyak ini. jadi Silakan DiBaca Lengkap Semoga semua ini dapat mempunyai kegunaan Untuk mencegah Terjadinya Investasi Yang gagal ditengah jalan

Lagi-lagi ”bodong”. Peristiwa investasi ”kura-kura” alias investasi tipu-tipu kembali menyeruak. Kali ini modusnya melalui pembelian emas. Pemilik uang ditawari untuk membeli emas dengan harga sedikit lebih mahal ketimbang harga pasar. Namun, investor akan diberi imbalan bunga 5-10 persen per bulan, tergantung besarnya investasi. Imbalan akan semakin tinggi kalau emas yang dibeli dititipkan kepada pengelola investasi. Menggiurkan bukan?

Namun, coba lihat logikanya. Bagaimana mungkin si pengelola dapat mendapat hasil investasi yang kemudian harus dibagikan kepada investor? Boleh jadi, si pengelola akan menyampaikan bahwa harga emas akan naik terus. Tetapi juga ada risiko turun.

Nah, investor emas atau pembeli dapat melaksanakan alih risiko kepada pengelola. Caranya, titipkan emas tersebut. Lalu, si investor akan mendapat imbal hasil tetap. Seolah-olah dongeng semacam itu masuk akal, padahal sangat tidak masuk akal. Bayangkan, kalau investor diberikan 5 persen per bulan, sama artinya dengan 60 persen per tahun.

Pertanyaannya, apakah kenaikan harga emas akan mencapai 60 persen per tahun? Sejumlah data memperlihatkan, belakangan harga emas malah mulai turun. Lalu bagaimana caranya pengelola investasi memutar dana atau emas tersebut untuk memenuhi kewajibannya? Dugaannya, memang tidak ada dana yang diputar. Yang ada hanyalah dana dihimpun. Apa maksudnya? Mari kita bahas.

Arisan berantai
Boleh jadi kita semua tidak tahu bagaimana pengelola investasi emas tersebut melipatgandakan keuntungannya. Namun, kalau kita telaah, hanya ada satu kemungkinan. Apa itu? Skema Ponzi alias arisan berantai.

Bagaimana analisanya? Sederhana. Pengelola investasi emas menjual emasnya kepada para pemilik uang. Katakan ada 10 kilogram emas atau 10.000 gram emas. Itu menjadi modal si pengelola investasi. Emas tersebut dijual umpamakan kepada 100 orang, dengan masing-masing membeli 100 gram emas, dengan harga Rp 100.000 per gram.

Berarti sudah ada Rp 10 miliar dana investasi yang masuk. Emas tersebut kemudian dititipkan kembali kepada si pengelola. Dengan demikian, si pengelola telah mendapat Rp 10 miliar dan juga emas sebanyak 10.000 gram.

Pertanyaannya, apakah benar emas tersebut disimpan oleh si pengelola? Belum tentu. Emas tersebut dijual kembali kepada pemilik uang yang lain. Dengan modus yang sama, si pengelola investasi kembali meraup Rp 10 miliar. Begitu seterusnya. Dengan kata lain, hanya bermodalkan emas 10 kg emas, si pengelola investasi dapat menjual emas tersebut berkali-kali, tanpa batas. Umpamakan saja, emas tersebut dijual 1.000 kali. Maka, seperti pengelola investasi menjual emas sebanyak 10.000 kg, padahal emasnya itu-itu saja, yakni hanya 10 kg. Itu pun kalau benar hingga 10 kg.

Bisa saja modal awal si pengelola investasi hanya 1 kg emas atau lebih rendah lagi. Lantas apa tanda bukti kepemilikan bagi si pemilik uang? Praktis sekali. Cetak saja akta atau tanda bukti kepemilikan di atas kertas mahal serta tinta emas dengan stempel yang seperti berkelas internasional. Para pemilik uang terkecoh dan percaya begitu saja.

Selanjutnya, bagaimana si pemilik uang mendapat imbal hasil yang besarannya 5-10 persen dari nilai investasinya? Juga sangat mudah. Lihat kisah di atas. Para pemilik dana tahap pertama akan mendapat imbal hasil dengan memakai uang masuk dari pemilik uang tahap pertama.

Seperti rujukan di atas, pengelola investasi di awal telah mendapat Rp 10 miliar. Lalu pada tahap kedua juga mendapat Rp 10 miliar. Kalau perlu dana untuk membayar kesepakatan return 5 persen tinggal ambil dari Rp 20 miliar yang telah dimiliki, yakni hanya sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Bayangkan, kalau dana yang telah dikelola mencapai Rp 1 triliun, mengeluarkan Rp 10 miliar hingga Rp 100 miliar bukan soal sulit.

Yang menjadi problem ialah kalau pada tahap tertentu, pengelola sudah mulai sulit mencari investor baru. Berarti modal yang tersedia akan semakin berkurang untuk digunakan membayar return kepada para investor yang sudah terdaftar.

Berikutnya, pembayaran mulai batuk-batuk dan tiba-tiba pengelola investasi sudah raib bersama sisa dana investor yang masih dipegangnya. Investasi tersebut kemudian menjadi bermasalah alias bodong. Selanjutnya gres mengemuka ke publik sehabis investor merasa murka alasannya ialah investasinya tidak kembali lagi.

Jadi bagaimana Sudah Paham Kan bagaimana seharusnya bersikap terhadap Investasi Apapun didunia ini ?